Dalam memahami kesatuan politik yang dinamakan negara. Kita akan dihadapkan dengan adanya kekuasaan negara. Siapakah pemegang kekuasaan negara itu? Trias politika beranggapan, bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga kekuasaan (Budiardjo, 2006:151).
Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang. Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang. Ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Apakah sama antara trias politika dan pembagian kekuasaan negara? Apakah sistem pembagian kekuasaan negara itu? Bagaimana nilai-nilai Pancasila itu diterapkan dalam sistem pembagian kekuasaan negara? Apakah kalian mengetahui apakah nilai-nilai Pancasila itu? Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, kalian dapat membaca uraian berikut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan pertama sampai dengan keempat pada tahun 1999-2002 mengatur sistem pembagian kekuasaan negara melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan inspektif (Kaelan, 2016:217). Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili para pelanggar undang-undang. Sedangkan kekuasaan inspektif merupakan kekuasaan untuk mengawasi penyelenggaraan negara dalam menjalankan undang-undang. Sedangkan kekuasaan konsultatif yaitu kekuasaan untuk meminta pertimbangan dalam menjalankan kekuasaan negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dihapus. Apabila dibandingkan dengan Teori Trias Politika, yang menekankan pada pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka Negara Republik Indonesia tidak secara murni menganut teori tersebut. Negara Republik Indonesia lebih tepat dinamakan negara yang menganut sistem pembagian kekuasaan atau trias politika ala Indonesia. Hal yang demikian disebabkan antara pemegang kekuasaan negara yang satu dengan lainnya tidak terpisah secara murni, tetapi berbagi kewenangan antar-lembaga negara. Coba perhatikan penjelasan di bawah ini.
Kekuasaan eksekutif didelegasikan kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.Kekuasaan legislatif didelegasikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, serta dalam hal otonomi daerah dapat melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kekuasaan yudikatif didelegasikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kekuasaan inspektif didelegasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan Badan Pemeriksan Keuangan (Pasal 23 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan tidak dikenal lagi kekuasaan konsultatif yang sebelumnya didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung. Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan digantikan dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden sendiri (Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Sistem pembagian kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut di atas dalam pelaksanaannya harus mengacu pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran ilai-nilai Pancasila dalam pembagian kekuasaan negara itu dinamakan penjabaran Pancasila yang bersifat objektif yang realisasinya dalam bentuk perundang-undangan Negara Republik Indonesia (Kaelan, 2016:128). Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam sistem pembagian kekuasaan negara tersebut sebagai konsekuensi Pancasila sebagai dasar fi lsafat negara. Artinya, Pancasila digunakan sebagai dasar berpikir atau landasan pikiran dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Semua lembaga negara, yakni antara lain Presiden, Majelis Permusyarakatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksan Keuangan, Komisi Yudisial, komisi pemilihan umum, dan bank sentral, dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang penjabarannya melalui peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka peraturan perundang-undangan tersebut harus diuji makna dan keadilannya menurut sila-sila Pancasila.
Dalam hal yang sama, peraturan perundang-undangan tersebut juga harus mendasarkan pada pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar penyelenggaraan negara. Pokok-pokok pikiran dasar penyelenggaraan negara Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
- “Negara” –begitu bunyinya- “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
- Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
- Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
- Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Pancasila menjadi dasar kerokhanian penyelenggaraan negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menjadi panduan norma dan sekaligus juga menjadi landasan dalam praktik pnyelenggaraan pemerintahan negara. Nilai-nilai Pancasila tersebut sesuai urutan sila-silanya diuraikan sebagai berikut.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
memiliki hakikat percaya kepada Tuhan. Dalam bertuhan, bangsa Indonesia mempercayainya sesuai dengan agama dan kepercayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Setiap warga negara berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing berdasarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, nilai-nilai dalam sila pertama Pancasila ini antara lain berupa:
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
(3) Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang bersifat asasi sehingga tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain, dan
(4) Nilai sila pertama menjiwai sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima
(Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:56).
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
Merupakan kesesuaian dengan hakikat manusia. Manusia Indonesia adalah manusia yang memperlakukan orang lain sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai kemanusiaan dalam sila kedua itu, antara lain:
(1) Pengakuan terhadap martabat manusia,
(2) Perlakuan yang adil terhadap martabat manusia,
(3) Pengertian manusia yang beradab, memiliki caya cipta, rasa, dan karsa, serta keyakinan,
sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan,
(4) Nilai sila kedua ini dijiwai sila pertama dan menjiwai kedua, ketiga, keempat, dan kelima
(Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:56).
Sila Persatuan Indonesia
Merupakan sikap yang mengembangkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai macam keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti keragaman suku, wilayah tempat tinggal, agama, budaya, adat-istiadat, bahasa daerah, dan pulau-pulau semuanya itu ditempatkan dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila ini, antara lain:
(1) Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia,
(2) Bangsa Indonesia adalah bangsa persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, (3) Pengakuan terhadap ke-Bhinneka Tunggal Ika-an suku bangsa dan kebudayaan bangsa yang berbeda,
(4) Nilai sila ketiga dijiwai sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima
(Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:57).
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Berarti rakyat mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedaulatan negara di tangan rakyat, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Serta dalam pengambilan keputusan didasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Beberapa nilai yang berkenaan dengan sila keempat Pancasila ini antara lain:
(1) Kedaulatan negara di tangan rakyat,
(2) Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan, (3) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur,
(4) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat untuk melaksanakan permusyawaratan, (5) Sila keempat dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta menjiwai sila kelima
(Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:57).
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Artinya mengembangkan sikap adil yang bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Cakupan keadilan sosial meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Sejalan dengan cakupan tersebut, nilai-nilai Pancasila sebagai perwujudan sila kelima antara lain:
(1) mengembangkan sikap adlil terhadap sesama,
(2) mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan,
(3) cinta akan kemajuan dan pembangunan,
(4) sila kelima dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat
(Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:58).
Bagaimana contoh sistem pembagian kekuasaan negara melalui kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan inspektif menerapkan nilai-nilai Pancasila?
Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang dipegang oleh Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang yang dibentuk harus menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, tidak boleh merendahkan martabat manusia, berlaku untuk semua komponen bangsa Indonesia, dirumuskan secara musyawarah mufakat, dan mendorong tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, dalam sila pertama, pemerintah harus mengusahakan terbinanya kerukunan hidup di antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam sila ketiga, pemerintah memberikan pengakuan terhadap ke-Bhinneka Tunggal Ika-an suku bangsa dan kebudayaan bangsa yang berbeda. Pemerintah mengusahakan permusyawaratan dengan mempertimbangkan pendapat dari masyarakat. Akhirnya, kekuasaan yang dijalankan
oleh pemerintah menciptakan kemakmuran rakyat. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili para pelanggar undang-undang. Peradilan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perkara yang diputuskan seadil-adilnya atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Peradilan tidak memihak, harus didasarkan atas fakta-fakta yang ada dalam bukti persidangan. Oleh karenanya, putusan peradilan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bebas dari kepentingan kelompok, dan meninggikan keadilan sosial.
Kekuasaan inspektif merupakan kekuasaan untuk mengawasi penyelenggaraan negara dalam menjalankan undang-undang. Salah satu lembaga pelaksana kekuasaan inspektif dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemerinsaan BPK diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23E Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hal yang demikian mengandung makna, bahwa dalam memeriksa keuangan negara, BPK harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam silasila Pancasila.
Wujud nyata contoh di atas antara lain sebagai berikut.
Misalnya, penerapan sila pertama Pancasila dalam putusan Mahkamah Agung baik dalam kasus perdata maupun pidana yang dimulai dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Contoh penerapan sila kedua Pancasila oleh pemegang kekuasaan negara terlihat antara lain dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam Pasal 44 poin a, “Pemerintah dalam melaksanakan APBN Tahun Anggaran 2018 mengupayakan pemenuhan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang tercermin dalam: penurunan kemiskinan menjadi sebesar 9,5% - 10,0% (sembilan koma lima persen sampai dengan sepuluh koma nol persen)”. Dengan pencantuman pasal tersebut, antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden berkehendak meningkatkan kulitas manusia Indonesia dengan mengentaskannya dari kemiskinan. Contoh ini juga berlaku untuk pelaksanaan sila ketiga Pancasila, karena undang undang ini mencakup seluruh wilayah Indonesia. Juga sesuai dengan sila keempat Pancasila, karena perumusan undang-undang merupakan hasil musyawarah antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presisen. Dan juga selajan dengan sila kelima Pancasila, karena pengentasan
kemiskinan merupakan bagian dari upaya keadilan sosial.